
Pemerintah konoha hobi bikin acara. Namanya bisa macam-macam: festival rakyat, sosialisasi, seminar kebangsaan, atau yang lagi hits—acara literasi digital dan bimbingan teknis. Semua dibungkus dengan jargon keren: “membangun kesadaran masyarakat” atau “meningkatkan kapasitas generasi muda.” Kedengarannya mulia, padahal sering kali kita hanyalah figuran yang dipanggil biar kursi tidak kosong.
Kalau acaranya gratis, jangan buru-buru senang. Gratis itu artinya kita sedang dijadikan produk. Kita hadir untuk menambah angka “ribuan peserta antusias” dalam laporan akhir. Wajah kita masuk dokumentasi, lalu diklaim sebagai bukti bahwa pemerintah dekat dengan rakyat. Sementara isi acaranya? Bisa jadi cuma presentasi PowerPoint panjang dengan huruf kecil-kecil yang bikin mata juling. Tapi jangan protes, toh gratis.
Yang lebih kocak adalah kalau peserta justru dibayar—dikasih uang transport, uang saku, atau amplop misterius. Di sini kita bukan produk lagi, tapi aksesoris. Kita dibayar hanya agar ruangan terlihat ramai dan panitia bisa setor bukti: “Bimtek berjalan sukses dengan partisipasi aktif masyarakat.” Padahal yang aktif mungkin cuma antre tanda tangan daftar hadir biar bisa cair uang transport. Setelah itu? Materi literasi digital hanya jadi latar suara, persis musik pengantar tidur.
Inilah ironi acara literasi dan bimtek kita: konsepnya mulia, tapi praktiknya sering berubah jadi proyek formalitas. Alih-alih benar-benar meningkatkan kapasitas, acara itu jadi transaksi tiga pihak: pemerintah butuh angka, panitia butuh laporan, peserta butuh uang saku. Literasi yang tumbuh bukan soal berpikir kritis, tapi literasi pragmatis: tahu kapan daftar hadir, kapan pulang, dan kapan menagih amplop.
Kesimpulannya jelas: kalau gratis, kita adalah produk. Kalau dibayar, kita hanyalah aksesoris. Jadi, di acara pemerintah, rakyat jarang sekali benar-benar jadi subjek pembelajaran. Kita lebih sering jadi dekorasi demokrasi, latar belakang indah untuk foto pejabat, dan catatan manis di laporan akhir kegiatan. Mungkin satu-satunya literasi yang sungguh berhasil dari acara semacam itu adalah: literasi membaca tanda tangan di absensi.
Kalau ada typo, itu bukan salah kami—itu seni. Kalau ada yang tersinggung, anggap aja efek samping membaca kebenaran dengan bumbu cabe rawit.